Sulawesi Tenggara (Sultra) adalah salah satu provinsi yang menjadi sorotan ekonomi karena cadangan nikel yang melimpah. Aktivitas pertambangan dan perubahan penggunaan lahan yang pesat membawa manfaat ekonomi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana perubahan ruang ini meningkatkan risiko bencana hidrometeorologis, khususnya banjir bandang? Pernyataan ini bukanlah ramalan — melainkan sebuah peringatan yang mesti ditopang oleh data dan tindakan mitigasi.
Pertama, skala industri nikel di Sultra besar dan berdampak luas terhadap lanskap. Berbagai sumber menyebutkan luas area konsesi dan operasi nikel di Sulawesi (termasuk Sultra) mencapai puluhan hingga ratusan ribu hektar, menjadikan provinsi ini sebagai kawasan dengan tekanan tambang yang signifikan. Dampak lanskap dari pengerukan, jalan tambang, dan pembuangan bahan olahan tidak sekadar lokal — mereka mengubah aliran permukaan dan keseimbangan ekosistem setempat.
Kedua, citra satelit dan peta tutupan lahan menunjukkan adanya perubahan tutupan hutan di Sultra akibat aktivitas ekonomi dan konversi lahan. Hilangnya vegetasi penutup di area hulu mengurangi kemampuan tanah menyerap air hujan dan mempercepat limpasan permukaan ketika hujan deras turun. Data tutupan lahan berbasis satelit (misalnya yang tersedia melalui platform pemantauan hutan global) memberi gambaran bahwa tekanan konversi lahan memang nyata dan perlu dianalisis lebih lanjut dalam konteks hidrologi lokal.
Ketiga, temuan ilmiah umum memperkuat korelasi antara deforestasi/land clearing dan peningkatan erosi, sedimentasi sungai, serta risiko limpasan cepat — semua faktor yang memperbesar kemungkinan terjadinya banjir bandang jika dipicu hujan ekstrem. Studi-studi hidro-ekologi menunjuk bahwa perubahan penggunaan lahan yang drastis (seperti pembukaan lahan tambang atau konversi besar-besaran untuk perkebunan) mengganggu keseimbangan hidrologis sehingga wilayah yang sebelumnya relatif aman menjadi rentan terhadap kejadian ekstrem.
Keempat, ada bukti kasus di wilayah Sulawesi yang mengilustrasikan dampak nyata perubahan lanskap industri. Laporan lapangan dan investigasi di area-area dengan konsentrasi industri nikel menghubungkan land clearing dan aktivitas tambang dengan masalah erosi, sedimentasi, dan peningkatan kejadian banjir lokal. Kasus-kasus ini tidak otomatis membuktikan bahwa setiap lokasi tambang pasti akan mengalami banjir bandang — tetapi mereka menjadi bukti empiris bahwa risiko tersebut bukan sekadar hipotesis.
Di sisi lain, ada juga keterbatasan data yang nyata. Misalnya, data kuantitatif luas perkebunan sawit spesifik untuk Sultra sulit divalidasi dari sumber publik yang tersedia. Karena itu, analisis yang menautkan luas sawit provinsi secara langsung ke risiko banjir memerlukan akses data resmi konsesi dan penggunaan lahan terperinci — data yang seringkali berada pada registri pemerintah daerah, instansi kehutanan, atau catatan izin usaha. Tanpa data ini, kita hanya dapat berbicara tentang potensi dan kecenderungan, bukan penetapan peta risiko yang presisi.
Apa yang Harus Dilakukan — Rekomendasi Berbasis Ilmiah
- Segera lakukan pemetaan risiko berbasis data spasial dan hidrologi. Pemerintah provinsi dan kabupaten bersama perguruan tinggi dan lembaga riset harus menggabungkan peta konsesi tambang, tutupan lahan dari citra satelit (Landsat/Sentinel), DEM resolusi tinggi, serta data curah hujan historis untuk memetakan zona rawan limpasan dan banjir bandang. (Langkah teknis yang direkomendasikan: change detection, overlay konsesi, model run-off, dan validasi lapangan).
- Perketat izin tambang dan persyaratan reklamasi. Perusahaan tambang wajib menyiapkan, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan rencana reklamasi dan pengendalian erosi yang efektif sebelum, selama, dan setelah operasi. Pengawasan dan sanksi harus jelas agar pembukaan lahan tidak menciptakan risiko bencana baru.
- Bangun sistem pemantauan dini lokal. Di daerah hulu yang mengalami konversi lahan, pasang alat pengukur curah hujan dan level sungai sederhana, serta jalur komunikasi cepat untuk peringatan masyarakat bila terjadi hujan ekstrem. Mitigasi teknis seperti pembuatan teras, revegetasi, dan penataan saluran harus diprioritaskan.
- Transparansi data konsesi dan penggunaan lahan. Pemerintah daerah perlu membuka data konsesi tambang dan perkebunan dalam format spasial agar peneliti dan publik dapat melakukan analisis independen. Ketiadaan data sawit provinsi, misalnya, menghambat kajian risiko yang robust.
- Keterlibatan masyarakat dan pendidikan risiko. Penduduk lokal harus dilibatkan dalam identifikasi titik kritis dan diberi pelatihan mitigasi — solusi yang diprogramkan tanpa dukungan masyarakat cenderung gagal.
Penutup — Peringatan untuk Bertindak, Bukan Menakut-nakuti
Menegaskan bahwa ekspansi tambang nikel dan konversi lahan di Sultra meningkatkan potensi risiko banjir bandang bukanlah tindakan alarmis — itu panggilan berbasis bukti untuk pengelolaan risiko yang lebih baik. Namun, klaim prediktif tentang kapan dan di mana banjir bandang akan terjadi harus didasarkan pada pemodelan hidrometeorologi yang valid dan data real-time. Hingga saat itu, yang paling bertanggung jawab adalah memetakan risiko sekarang, menerapkan langkah mitigasi segera, dan menegakkan praktik pengelolaan lahan berkelanjutan.
Penulis; Tim Redaksi
