Jakarta, 16 Juni 2025 – Konflik antara Iran dan Israel memasuki fase paling mematikan dalam beberapa dekade terakhir. Pada Jumat dini hari (14/6/2025), militer Israel melancarkan serangan besar-besaran ke sejumlah fasilitas strategis di Iran, termasuk instalasi nuklir di Teheran. Serangan tersebut menewaskan sedikitnya 80 orang, termasuk ilmuwan nuklir dan tokoh penting militer, di antaranya Ali Shamkhani, penghubung strategis Iran dengan Amerika Serikat.
Tak tinggal diam, Iran membalas agresi ini dengan puluhan rudal balistik yang menghantam pusat-pusat vital Israel, termasuk Tel Aviv. Setidaknya 10 warga Israel dilaporkan tewas, dan kerusakan besar melanda kawasan permukiman dan fasilitas publik.
PM Benjamin Netanyahu berdalih bahwa serangan itu adalah langkah preventif atas dugaan Iran tengah mempersiapkan senjata nuklir. Ia bahkan mengklaim Iran memiliki cukup bahan fisil untuk membuat hingga 15 bom nuklir dalam hitungan hari.Namun, tuduhan ini belum mendapat dukungan dari komunitas internasional.
IAEA (Badan Energi Atom Internasional) dalam laporan terbarunya memang menyebut Iran gagal memenuhi kewajiban transparansi nuklir, tetapi tidak menemukan bukti pengembangan senjata nuklir.
Pemerintah AS melalui Direktur Intelijen Nasional, Tulsi Gabbard, bahkan menyatakan bahwa Iran tidak sedang membangun senjata nuklir, dan bahwa Pemimpin Tertinggi Ayatollah Khamenei belum memberi otorisasi atas program tersebut sejak dihentikan pada 2003.
Langkah Israel juga dinilai sebagai bagian dari manuver politik Netanyahu. Dalam negeri, ia terancam kehilangan dukungan koalisi akibat krisis politik, tuduhan korupsi, dan kontroversi penanganan konflik Gaza. Pengamat menilai Netanyahu menggunakan ketegangan luar negeri untuk meredam tekanan internal dan memperkuat posisinya di pemerintahan.
“Bagi Netanyahu, perbedaan antara politik dalam negeri dan luar negeri nyaris tak ada,” ujar analis Israel, Ori Goldberg.
Dengan kondisi saat ini, kekhawatiran dunia internasional meningkat. Terbukanya front militer langsung antara dua kekuatan besar Timur Tengah dikhawatirkan dapat memicu perang regional. Apalagi Iran selama ini dikenal sebagai sponsor utama kelompok seperti Hamas, Hizbullah, dan Houthi, yang dapat saja ikut terlibat dalam babak baru konflik.