Oleh: Kamalludin
Sulawesi Tenggara dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, baik dari sektor pertanian maupun pertambangan. Namun, di tengah upaya nasional untuk mewujudkan swasembada pangan, daerah ini menghadapi ancaman serius: krisis generasi penerus di sektor pertanian. Pemuda-pemudi yang dahulu menjadi tumpuan masa depan pertanian kini semakin jauh dari sawah dan ladang. Mereka lebih tertarik menjadi konten kreator di media sosial atau bekerja sebagai buruh tambang, terutama di wilayah-wilayah industri nikel yang menjanjikan upah instan.
Pertanian Kian Ditinggalkan
Data informal di berbagai kabupaten seperti Konawe, Kolaka, dan Bombana menunjukkan bahwa jumlah petani muda terus menurun, sementara rata-rata usia petani meningkat setiap tahun. Ini menunjukkan regenerasi di sektor pertanian nyaris tidak terjadi. Ketertarikan generasi muda terhadap pertanian kian redup, dianggap tidak menjanjikan dan identik dengan kemiskinan, kerja berat, dan hasil yang tak seberapa.
Sebaliknya, industri tambang dan tren digital memberikan daya tarik besar. Pemuda lebih memilih bekerja di tambang yang gajinya langsung terlihat, meski dengan risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang tinggi. Sebagian lain menggeluti dunia konten digital dengan harapan menjadi viral dan meraih penghasilan dari iklan atau endorse.
Padahal Pertanian adalah Pilar Swasembada Pangan
Ironisnya, situasi ini terjadi justru saat pemerintah pusat dan daerah terus menggaungkan program swasembada pangan. Bagaimana mungkin swasembada bisa dicapai bila tak ada yang mau menjadi petani? Kemandirian pangan tak bisa dibangun hanya lewat bantuan pupuk atau alat mesin pertanian, tetapi harus dimulai dari sumber daya manusianya. Dalam konteks ini, peran pemuda sangat vital.
Apa yang Salah?
Pertama, kurangnya pendidikan pertanian yang kontekstual dan menarik bagi generasi muda. Pertanian masih diajarkan dengan pendekatan lama, tidak adaptif terhadap perkembangan teknologi digital atau pertanian modern berbasis data dan inovasi.
Kedua, minimnya jaminan pasar dan pendapatan bagi petani muda. Pemuda tentu mempertimbangkan hasil. Jika tidak ada jaminan keuntungan atau nilai tambah dari bertani, mereka akan mencari jalur lain yang lebih menjanjikan.
Ketiga, pemerintah belum optimal membangun citra positif petani sebagai profesi masa depan. Narasi tentang petani sukses dan modern sangat sedikit. Padahal, pertanian bisa menjadi sektor strategis dengan potensi ekonomi yang besar jika dikelola dengan teknologi dan dukungan pasar yang baik.
Solusi dan Peran Pemerintah
Transformasi Pendidikan dan Pelatihan Pertanian:Pemerintah daerah dan pusat perlu mengintegrasikan teknologi digital dalam pelatihan pertanian, mendorong pemuda melihat pertanian sebagai bidang bisnis, bukan sekadar kerja fisik.
Mendorong Agropreneur Muda:Insentif modal usaha, akses pasar, dan pelatihan bisnis bagi pemuda di bidang pertanian harus diperluas. Tunjukkan bahwa bertani juga bisa “cuan”.
Kampanye Profesi Petani Modern:Narasi dan kampanye publik tentang “petani keren”, “petani digital”, atau “petani eksportir” bisa menjadi senjata membalik persepsi. Pemerintah bisa menggandeng influencer lokal untuk menyampaikan pesan ini secara kreatif.
Kolaborasi Sektor Tambang dan Pertanian:Industri tambang bisa diwajibkan menyalurkan dana CSR untuk pengembangan pertanian lokal, terutama di wilayah yang terdampak aktivitas tambang.
Penutup
Krisis regenerasi petani di Sulawesi Tenggara adalah ancaman serius terhadap masa depan pangan dan kedaulatan wilayah. Jika dibiarkan, kita akan tergantung pada pasokan dari luar, bahkan untuk kebutuhan dasar. Pemerintah harus melihat ini sebagai darurat strategis yang tak kalah penting dari isu energi atau infrastruktur. Petani muda adalah pahlawan masa depan yang harus dibentuk, bukan ditinggalkan.